Jumat, 02 Oktober 2009

Colek, Program Diknas 2004-2009

Meskipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah lima tahun (04/09) persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap warga negera (WNI) khususnya guru, yang di jadikan kambing hitam pemerintah (depdiknas). Persoalan yang masih dihadapi saat ini.

Persoalan Kurikulum

Pelaksanaan sosialisasi Standar Isi yang berwujud pada pengembangan KTSP, telah berlangsung lama, mulai dari tahun 2006 hingga sekarang. Sosialisasi berlangsung dari tingkat Pusat hingga Provinsi dan Kabupaten/Kota. Muatan substansi sosialisasi tidak hanya berupa aturan dan konsep mengenai pengembangan KTSP saja, tetapi juga pengembangan praktis yang mengarah pada implementasinya di sekolah, seperti: silabus, Penyusunan rencana pembelajaran, Penyusunan bahan ajar, Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM).

Segala macam kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan pengembangan KTSP tersebut, dikuatirkan akan mengalami distorsi atau penyimpangan daripada yang seharusnya terjadi. Hal ini berkaitan dengan beberapa keadaan yang memungkinkan berlangsungnya suatu penyimpangan, seperti:

Misiformasi
Bahan/substansi materi yang cukup banyak berkaitan dengan pengembangan KTSP, untuk
disosialisasikan dalam tempo yang terbatas, memungkinkan terjadinya beberapa informasi yang
tidak lengkap untuk diterapkan di sekolah.
Misinterpretasi
Bahan/substansi materi sosialisasi sering diangggap sebagai hal baru dengan asumsi atau anggapan
yang berbeda-beda oleh pelaksana pendidikan dari berbagai daerah dengan tuntutan kebutuhan
dan kondisi yang berbeda-beda.
Miskomunikasi
Peserta sosialisasi yang berasal dari berbagai daerah, yang masing-masing saling berjauhan dan
mengalami keterbatasan komunikasi, bisa menimbulkan anggapan yang berbeda-beda terhadap
substansi materi yang sama.

Di samping itu juga, segala macam keterbatasan kondisi tersebut dapat menimbulkan permasalahan bagi Kepala Sekolah dan Guru dalam mengembangkan KTSP. Dalam implementasi kebijakan tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa belum semua satuan pendidikan mampu mengembangkan dan menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara mandiri. Kemampuan mereka sangat beragam di berbagai jenis dan jenjang sekolah, begitu pula di setiap daerah provinsi, dan kabupaten/kota. Keragaman kemampuan ini tentunya akan berdampak pada keragamaan kualitas dari hasil penyusunan KTSP yang bisa menimbulkan dampak kesenjangan antara daerah satu dengan lainnya.

Persoalan Sarana Pra Sarana

Cita-cita pemerintah untuk menciptakan manusia Indonesia yang Cerdas pada tahun 2009, nampaknya masih sebatas isapan jempol. Buruknya sarana dan pra sarana pendidikan masih menjadi potret buram dunia pendidikan.

Sebagai sarana menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, infrastruktur pendidikan merupakan salah satu penunjang penting yang dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menghasilkan kualitas kegiatan belajar mengajar yang baik. Namun, pada kenyataannya, berbagai program pembangunan di sektor ini belum mampu menuntaskan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan buruknya infrastruktur.

Salah satu bukti buramnya wajah dunia pendidikan di Banten adalah kondisi sekitar 40 persen gedung SD di Kecamatan Kota Serang yang tidak layak digunakan. Selain karena tidak memenuhi standar, kondisi ruang kelas pun banyak yang tidak sehat dan tidak bersih(Koran Banten, 11/05/09). Dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kadu Agung II Kec. Tigaraksa kab. Tangerang merupakan salah satu dari sekian sekolah dasar yang mengalami kerusakan. Meski letaknya di pusat kota Tangerang dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Kantor Bupati Tangerang, bukan berarti keberadaannya akan mudah ditemui. Letaknya di pinggir jalan administratif dan berada di dalam lingkungan penduduk membuat sekolah itu tidak sulit dicari bagi siapapun yang belum pernah ke SD ini sebelumnya.

Mengenai ketidakadilan, pemerintah beralasan slektif mengutamakan sekolah-sekolah yang bangunannya tidak layak terlebih dahulu.kategori SD tidak layak, adalah atap berlubang, tembok rusak atau mau roboh, lantai belum dikeramik, dan berdebu.Namun, kenyataannya Mengenai SD atau sekolah-sekolah yang sudah bagus dan sarana-prasarananya sudah memadai tetapi tetap mendapatkan bantuan, hal tersebut bisa terjadi lantaran ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kemudian, salah satu unsur penting dalam proses pembelajaran di sekolah adalah bahan ajar. Dalam hal ini, di antaranya peran buku pelajaran. Kualitas buku pelajaran yang dijadikan sumber pembelajaran turut menentukan hasil pencapaian tujuan pembelajaran. Implementasi Buku Sekolah Elektronik (BSE) agak susah diterapkan. Semua tak lepas dari minimnya penetrasi internet. Sekolah yang memiliki fasilitas bisa dihitung dengan jari. Pun dengan jumlah warung internet. Selain itu akses kecepatan data untuk mendapatkan buku elektronik juga menjadi keluhan tersendiri. Ternyata buku elektronik tersebut file-nya terlalu besar bisa mencapai lebih dari 500 megabit. Akibatnya pengunduhannya agak lama. Oleh sebab banyak suara yang menyebut buku elektronik belum menyelesaikan permasalahan buku murah, terutama bagi daerah-daerah terpencil yang tidak terjamah akses internet. Pengamat pendidikan Sumsel, Prof Waspodo lebih berharap pada ketersediaan buku gratis untuk siswa. Masalahnya masih banyak guru belum melek teknologi. Belum lagi ketersambungan aliran listrik di beberapa daerah yang belum merata. Bagaimana sekolah yang tidak punya listrik bisa mengakses internet.

Mari kita berhitung-hitung seandainya kita mengunduh dan mencetak (print) buku on line tersebut. Sebagai contoh adalah buku mata pelajaran IPS untuk tingkat SMP kelas 7 yang berjumlah 229 halaman. Kalau siswa atau orang tua siswa yang tidak memiliki komputer dan tidak bisa berinternet, maka berarti dia harus ke warung internet terdekat dan mencetak di sana. Harga ngenet per 1 jam misalnya Rp.4.000,- ditambah biaya cetak (print) sebesar misalnya Rp. 500,- per lembar. Berarti perhitungan menjadi: Biaya internet Rp.4.000,-, karena waktu untuk mengunduh tidak lama, simpan di harddisk lalu cetak. Biaya cetak Rp. 500,- dikalikan 229 lembar halaman menjadi Rp. 114.500,-. Ditambahkan dengan biaya internet menjadi Rp.118.500,-. Wow! Mahal sekali hanya untuk sebuah buku pelajaran sekolah!

Persoalan Guru

Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.

1. Masalah Kualitas Guru

Kualitas guru Indonesia, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru (khususnya SD), sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran (guru kelas) yang tidak jarang, bukan merupakan inti dari pengetahuan yang dimilikinya, hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.

2. Jumlah Guru yang Masih Kurang

Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.

3. Masalah Distribusi Guru

Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.

4. Masalah Kesejahteraan Guru

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah dimana mereka mengajar. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.

Kemudian mengenai sertifkasi guru, Guru SD – SLTA harus bersusah payah mengumpulkan nilai 850 untuk lulus Fortofolio sedang dosen penilaiannya menggunakan penilaian diri sendiri… ini mulai di adu domba… guru di jadikan kambing hitam berkaitan pembiayaan nya, padahal ini hanya aling-aling Diknas untuk menutupi bahwa mereka bersih berkaitan anggaran 20 %.


Permasalahan Siswa ( Ujian Nasional )

UN ini telah berlangsung selama tujuh kali sejak 2003. Selama rentang waktu itu, beragam kebijakan UN telah berganti-semula hanya memakai standar nilai minimal 3,25, sekarang jadi 5,50. Sebenarnya permasalahan UN bukan sekali ini saja. Sejak dulu problem mengenai UN telah menyeruak.

Membicarakan UN, satu hal yang tidak bisa dielakkan adalah mengenai kejujuran siswa dalam mengikutinya. Siswa selalu dituntut untuk jujur dalam mengerjakan soal-soal, dengan konsekuensi tidak lulus jika nilainya di bawah standar. Selain itu, hal yang terasa amat lucu adalah banyaknya tekanan dari sana-sini. Seperti tekanan untuk pengajar dalam mempertahankan gengsi jejak rekam sekolahnya. Sebab, jika banyak siswa yang tidak lulus, secara langsung sekolahan itu citranya bakal turun. Guru di jadikan pembohong besar…. Gimana mau kualitas…

Demikian, raport mu diknas…. Silahkan teman-temen nilai sendiri masing-masing menilai, mau merah… hitam… lulus atau tidak…. Kalau saya sih… tidak lulus dengan nilai merah….

Teman-teman seperjuangan mari lanjutkan terus berjihad & berjuang tegakan keadilan, hancurkan kemaksiatan & kebathilan. Mari kita bangun pendidikan di semua pelosok, di setiap sekolah, di setiap RT/RW, di setiap rumah. Semoga Allah SWT bersama kita. Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar